Rabu, 21 Agustus 2013

Perisai Langit


Bekasi, sebagaimana kampung lainnya bernama Tambun di belahan Indonesia bagian Jawa Barat, adalah hamparan tanah yang sudah tampak gersang akibat padatnya pembangunan rumah atau ruko-ruko yang tak terkendali. Sebagian penduduk bekerja sebagai pegawai kantoran baik swasta maupun negeri. Letak kota yang tak jauh dari Ibu Kota Indonesia, Jakarta membuatnya menambah kesan padat penduduk yang ikut terbawa arus berbudaya Jakarta. Hawanya panas. Bahkan di malam hari terkadang suhu tak jauh berbeda. Merupakan pemandangan yang tak lazim jika melihat pemuda Bekasi keluar rumah siang-siang memakai sarung selilit tubuhnya, karena cuaca terik menyengat yang siap menyapa bahkan sebelum tengah hari tiba.

Bekasi, Kampung yang dulu hanya bisa didiami oleh pohon-pohon besar berjejer tak beraturan, kini sudah mampu mempersembahkan eksistensinya sebagai kota pelajar. Sudah banyak bangunan sekolah berdiri baik di kota pusat maupun pelosok-pelosok yang dulu tak terintai pemerintah. Beberapa sekolah pun sudah mampu menjajaki pangkat nasional maupun internasional dalam kualitas pendidikannya. Tak heran jika setelahnya mulai banyak berdiri sekolah swasta.

Menyusuri hari dengan terik yang mengintai tanah pijakan. Banyak jalan- jalan utama menggambarkan aktivitas penduduknya mulai dari berdagang hingga pengemis pun terjumpai. Berjalan ke setiap sudut kota akan membuat mata menikmati gemuruh kendaraan bercampur riak suara para pedagang menjajaki dagangannya atau para kondektur yang dengan gagah peringai bak mencari mangsa rela melontarkan suara kencang, tak peduli pedih telinga, tak peduli gatal tenggorokan. Mengincar dengan mata elang yang terbelalak, siap merangkap mangsa. Anehnya, sedikit bahkan hampir tak ada yang menunjukkan kemarahan akan situasi ini. Pengemis yang tengah berjejer dengan jarak yang cukup jauh tetap menikmati pose yang terbilang cukup stabil, yang beberapa diantaranya menambahkan sebuah asesoris kaleng kecil sebagai tempat para pengguna jalan memberi gemerincing uang receh. Seakan menikmati ricuh pengguna jalan yang berjalan ke arah yang tak beraturan, demi mencapai tujuannya masing- masing.

Gemuruh yang kian menjadi- jadi justru membuktikan adanya kehidupan sudut kota bagai warna pelangi. Warna yang setiap harinya tak bisa diprediksi atau memasuki ekspektasi pelangi, yaitu tanpa warna hitam ataupun putih.

Melepas dahaga dari berjuta lelah yang mencekik tubuh. Walau hawa panas seringkali mengintai, sudut kota tetap dapat menikmati siraman hujan yang bisa saja turun dari tujuh langit Tuhan. Hujan yang lebat akan semakin mengurai warna sudut kota, bahkan kadang- kadang hingga memudarkan warna. Semakin banyak rintik air yang terjun, gemuruh sudut kota seakan perlahan lenyap, walau masih terdengar bisik- bisik sayup dari para penikmat hujan. Memang warna sudut kota tampak mulai memudar pada situasi ini. Namun mata akan melihat berjuta kesibukan menjadi berjuta ketenangan, telinga akan mendengar bisingnya gemuruh menjadi sunyinya para penikmat hujan, pikiran yang penuh kepenatan berganti imajinasi masa lalu yang melayang hingga mampu melukis langit, dan hati akan merasakan sesak yang berubah perlahan menjadi kesejukan rintik air yang terjun dari langit.
Inikah yang dinamakan anugerah dari Sang Khalikul Alam ?

To Be Continue ...

Sabtu, 03 Agustus 2013

Pelangi Ikhtiar



PELANGI IKHTIAR
Sepercik tinta pena Azzahra

Oleh Azzahra

Proses kita menjalani hidup adalah pilihan. Meski takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala sudah ditentukan di Lauhul Mahfuzh, tapi Allah memberi manusia pilihan untuk taat atau membangkang kepadaNya- dan keputusan kita itu tetap masih ada didalam ilmu Allah. Lalu, ketika kita memilih taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, saat itulah kita di uji. Sebab, seringkali pilihan itu justru bertentangan dengan hawa nafsu. Sehingga kitalah yang kerap menjadi “musuh terbesar” bagi diri sendiri.

Setidaknya itulah yang Zahra alami saat memutuskan untuk berjilbab. Momen yang cukup sakral dan indah. Zahra tahu persis perubahannya akan mengundang reaksi teman- teman sebayanya, terlebih lagi mereka yang menunjukkan sikap sentimen. 

Dua tahun lebih Zahra habiskan waktu untuk merenungi keputusan itu. Mencari tahu dasar- dasar ilmu yang dapat memperkuat keputusannya, ia butuh generator. Generator yang tak sekadar membangkitkan gelora sesaat namun setelahnya tergelincir kembali, malainkan untuk membuatnya kokoh berdiri stabil dilingkungan apapun. Sekarang apa yang kau pikirkan tentang menjadi wanita yang lebih baik di hadapan Allah ?

Lelah, emosi, putus asa, bangkit, bimbang, ragu, dan bangkit kembali. Sekiranya itu yang Zahra alami selama proses “mencari- cari”. Memang lingkungan pergaulan Zahra tak separah yang sampai mabuk- mabukan atau sejenisnya, atau bahasa tenar yang kian merebak dimasa remajanya yakni hang out tak karuan, karokean sana- sini sambil berdansa ria seakan- akan hidup tak akan berakhir, nonton film bersama kekasih yang kononnya “tersayang” padahal tak khayal, belum ada ikatan secara islam didalamnya. Ya, seperti itu lingkungan Zahra saat dimana ia buat keputusan besar. Kuat menggerogoti otak dengan pilihan menjadi wanita yang baik di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala atau menjadi wanita yang baik di hadapan teman- teman yang kerap memaksa dirinya ikut serta menikmati kesenangan belaka.     

Zahra sadar, ia menolak pergaulan seperti itu bukan karena ia sudah paham agama Islam saat itu. Ia hanya bermain logika, tak banyak keuntungan ataupun kebaikan yang ia dapat ketika pernah sesekali ikut serta walau hanya sebagai “penonton” atas teman- temannya. Yang ia dapat hanya sebuah kesenangan yang semu, tak memberikan kenyamanan hati yang sesungguhnya. Namun Zahra merasa berat jika harus meninggalkan teman- teman nya dalam keadaan “tak karuan”, sebab Zahra kenal betul teman- teman dekatnya itu. Mereka tetap teman yang baik bagi Zahra, menolong saat Zahra mengalami kesulitan, penghibur saat Zahra tak lagi bersemangat menjalani rutinitas yang kian membuatnya lebih memilih diam dan menyendiri. “aku tetap sayang mereka” lirihnya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan pilihan dalam berpakaian, mau pakaian takwa atau pakaian sebagai perhiasan, dan memilih pakaian takwa itu lebih baik. Walaupun selama ini jilbab bukanlah hal baru bagi Zahra, karena memang ia sudah lama memakainya tapi tak tahu apa dasarnya. Pikirnya selama ini adalah yang penting ia sudah cukup rajin menjalankan shalat wajib yang ada di lima waktu.

Setelah cukup lama menjalani proses “mencari- cari”, tak lama dengan bismillah, Zahra memutuskan berjilbab. Persis dugaanya, keputusanya telah mengundang reaksi, khususnya teman- teman sebayanya. Karena untuk keluarga Zahra, mereka tak mempermasalahkan hal ini, walau tak dalam kategori mendukung keputusannya juga.

Alhasil keanekaragaman reaksi teman dan seluruh lingkungannya mulai ia dapatkan. Hal ini sudah Zahra perhitungkan sebelumnya, karenanya ia tetap kuat dengan keputusannya apapun pandangan ataupun komentar teman- temannya. Zahra tak ingin berjilbab setengah- setengah. Mencari referensi pakaian dan kerudung secara syar’i baik melalui internet, majalah, dan pengamatan langsung dari muslimah- muslimah yang sudah terlebih dahulu mengenakan jilbab. 

Akhirnya Zahra menemukan model jilbab yang membuatnya nyaman, yaitu berjilbab lebar. Walaupun akhirnya ia sering dicap menganut aliran Islam tertentu, semua itu disambutnya dengan senyuman dan sesekali dengan jawaban “aliran Islam kajian Al- Qur’an dan Sunnah.”

Seiring berjalannya waktu, ujian kian datang bertubi- tubi kepadanya. Salah satu yang teringan baginya adalah saat dimana teman- teman dekatnya mulai menjauhi dirinya karena alasan tak suka dengan gaya berpakaiannya saat ini. Pandangan- pandangan aneh mulai merebak tak hanya teman dekat melainkan lingkungan pergaulanya saat itu. Bukan tak peduli dengan pandangan- pandangan itu, tapi yang Zahra pikirkan adalah bahwa ia harus membenahi dirinya dahulu sebelum meluruskan semuanya.

Satu ketika ada yang bertanya kepada Hasan al-Bashri Rahimahullah, "Wahai Abu Sa'id apa yang harus kami perbuat ? kami berteman dengan orang-orang yang senantiasa menakut-nakuti kami sampai-sampai hati kami hendak melayang."Maka beliau menjawab, " Demi Allah! Sesungguhnya jika kamu berteman dengan orang-orang yang senantiasa menakut-nakuti dirimu hingga mengantarkan dirimu kepada keamanan, maka itu jauh lebih baik dari pada kamu berteman dengan mereka yang senantiasa menanamkan rasa aman hingga menyeretmu kepada situasi yang menakutkan."

Dan aku ingin meringankan pertanggungjawaban orangtuaku kelak di akhirat –Azzahra-