Hari
itu kota terang oleh purnama, walau sesekali tertutup awan tebal. Angin kencang
berhasil menggoyangkan pohon- pohon besar tuk bergerak tak beraturan. Mendapati
cuaca yang tak kunjung baik, penduduk mulai menutup pintu dan jendela rumah.
Purnama
masih mengintip di sela- sela pohon yang bergoyang karena angin kencang, tapi
ada yang berbeda dari kenampakkan lainnya. Lelaki tua berparas sendu justru
memilih keluar rumah dan melakukan perjalanan penuh perjuangan untuk mencari
sebongkah uang, receh sekalipun. Cuaca buruk tak mengahalanginya untuk bekerja.
Tetangga yang sempat mengintip dari balik jendela kecil rumah mereka mulai
mencibir atas kenekatan lelaki tua itu. Diperjalanan ia membawa box yang
berukuran sedang, sembaring beberapa kali membenahi letak jaketnya yang kendor
ketika melekat di tubuhnya.
Sudut
kota malam itu sedikit berbeda, penerangan yang biasa ramai dengan kendaraan
lalu lalang, kini hanya ada lampu trotoar yang setia menerangi, alhasil
penerangan sudut kota pun remang- remang. Hanya ada beberapa pedagang yang
dengan gagah siap mengadu nasib di tengah cuaca buruk. Termasuk lelaki tua itu,
dengan pakaian berwarna putih lusuh yang mulai memudar. Topi ala koboy yang
sudah tampak tua dari usianya, bahkan terlihat di tepi- tepi topi mulai ada
sobekan- sobekan karena termakan usia, begitupula celana panjang hitam yang
kebesaran bagi tubuhnya.
Perjalanan
cukup panjang akhirnya terlewati, dengan angin yang sesekali harus membuatnya
memungut topi koboy karena terbang tertiup angin. Berdagang di malam hari bukan
sesuatu yang aneh bagi lelaki bertopi itu. Ia menempati gerobak kecil yang coba
direnovasi hingga berbentuk warung kopi sederhana dengan atap terpal diatasnya.
Ya, box yang setiap hari ia bawa berisi jajanan ala supir- supir angkot tempat
ia berdagang. Mulai dari minuman kopi, susu, teh ataupun gorengan- gorengan
ringan yang sebelumnya ia masak dahulu sebelum berangkat. Pembeli sebagian
besar berasal dari kalangan supir angkot, biasanya sambil menunggu penumpang
penuh. Para supir yang mencoba menikmati hidup walau sekedar menyantap gorengan
dan seteguk kopi dari warung lelaki bertopi di sudut kota.
Lagi-
lagi lelaki bertopi itu mendapati malam yang berbeda. Belum ada 30 menit ia
membangun warung nya hingga siap ditumpangi pembeli, datang dua orang preman
bertubuh gagah perangai. Sambil menyodorkan pisau, kedua preman itu berkata “hey
lelaki tua, kalau kau masih ingin berjualan esok maka turuti permintaan kami malam
ini. Apapun yang kau dapat malam ini, berikan setengahnya pada kami”. Tentu saja
lelaki bertopi itu belum pikun dan bodoh, hingga cukup mengerti dirinya kini
tengah diperas. “kami akan mengamatimu dari seberang jalan sana” bentak mereka
sambil menunjuk tempat mereka mengamati lelaki bertopi itu.
Setelah
berhasil mengancam, kedua preman itu pergi dan pelanggan pun mulai berdatangan.
Melihat cuaca yang buruk ia sadar untuk tidak membawa banyak jajanan untuk
dijual malam itu. Para supir yang sepi penumpang membuat warungnya ramai,
begitu juga jajanan ala supir yang tak terlalu banyak cepat habis terjual. Namun,
supir- supir itu tiba- tiba terkejut melihat tingkah lelaki bertopi itu tak
seperti biasanya. Ia bilang “untuk malam ini aku tak mau dibayar dengan uang,
kalaulah diantara kalian ada yang keberatan maka bayarlah malam ini di lain
waktu saja, aku mengizinkan”. Belum habis rasa kaget para pembeli itu, tiba- tiba
ia mengeluarkan kertas yang sedari tadi ia potong kecil- kecil. Lelaki tua
bertopi itu membagikan kertas pada para pembelinya, ia minta para supir angkot
itu menuliskan pesan bahwa betapa sulitnya bekerja dibawah badai, dan sungguh
menyebalkan ketika harus bertemu dengan orang tamak yang tak kenal nasib orang
lain.
Malam
masih mengitari kota, walau cuaca tak kunjung buat bintang terlihat ..
Seselesainya
para supir menulis apa yang ia pinta, mereka berdoyong- doyong meninggalkan
warung si lelaki bertopi sambil terheran- heran. Akhirnya, melihat keadaan yang
mulai sepi pembeli, kedua preman kembali datang untuk menagih ancaman. Tanpa berdebat,
lelaki bertopi itu langsung menyodorkan kertas yang sebelumnya ditulisi oleh
para supir, sambil berkata “kertas- kertas ini yang kudapat malam ini. Dagangan
ku habis terjual, namun pembeli tak memberi ku uang malam ini, kalian memintaku
memberikan setengahnya maka ambillah, dan sudah kupenuhi keinginan kalian”.
Lelaki
bertopi itu tak mau berpikir panjang kalau terbunuh akibat kemarahan kedua
preman yang tengah memerasnya. Pikirnya pemerasan yang semena- mena itu
membuatnya harus berbeda dari korban- korban yang lainnya.
Hidup itu bagaikan bendera perang. Kadang berkibar megah dan menantang.
Kadang kotor, robek- robek, dan hampir jatuh ke tangan musuh. Tapi, tetap harus
dipertahankan dengan gagah berani, sampai ke tangan Tuhan. Begitulah sejatinya,
dimana setiap individu mesti memperjuangkan hidup dan menemukan makna hidup.